Meskipun sudah satu tahun sejak serangan Israel di Jalur Gaza yang menewaskan lebih dari 41.000 orang, kebanyakan dari mereka adalah perempuan dan anak-anak, boikot terhadap merek asing, khususnya dari negara-negara yang mendukung Tel Aviv, sangat terasa di Pakistan, negara Asia Selatan yang memiliki senjata nuklir ini. /ANTARA/Anadolu/py
Setahun telah berlalu sejak kekejaman rezimZionis di Gaza, Palestina yang membantai lebih dari 42.000 wanita, anak-anak, dan warga sipil Palestina.
Kejahatan-kejahatan ini tidak hanya terus berlanjut tetapi juga meningkat.
Hal itu ditandai dengan pelanggaran berulang terhadap hukum humaniter internasional, Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik (termasuk serangan terhadap Konsulat Republik Islam Iran di Damaskus), pelanggaran kedaulatan nasional melalui tindakan seperti pembunuhan Shahid Ismail Haniyeh, kepala Biro Politik Hamas di Teheran, dan agresi militer terhadap negara-negara Asia Barat lainnya, termasuk serangan misil ke daerah pemukiman di Lebanon selatan dan pembunuhan Shahid Sayyed Hassan Nasrallah, Sekretaris Jenderal Hizbullah.
Rezim tersebut, setelah pernyataan dari seorang menteri dalam kabinet ekstremis Netanyahu pada November 2023, menegaskan perlunya penggunaan bom atom di Jalur Gaza yang kembali membahayakan stabilitas dan keamanan regional serta global dengan mengancam serangan nuklir.
Meskipun kebijakan rezim Zionis yang tidak transparan dan ambigu terkait dengan persenjataan nuklirnya, bukti sejarah menunjukkan bahwa Israel mulai segera membangun fasilitas penelitian nuklirnya di Dimona yang terletak di Gurun Negev setelah Badan Yahudi mengumumkan negara Zionis di wilayah yang diduduki pada tahun 1948.
Pada akhir 1950-an, sejumlah fasilitas ini sudah memiliki reaktor nuklir dan pabrik pengolahan, dengan reaktor Dimona mulai beroperasi pada pertengahan 1963 dan memproduksi senjata nuklir yang dapat digunakan pada akhir 1966, sebelum Perang Enam Hari Arab-Israel pada tahun 1967.
Program nuklir Israel pertama kali terungkap pada 13 Desember 1960 ketika majalah Time menerbitkan artikel yang menyatakan bahwa sebuah “negara non-komunis, non-NATO” sedang mengejar pengembangan atom.